satu

Arch Efan
Architecture & Design
Adsense Indonesia

3

SIAP MEMBANTU JASA ARSITEKTUR-LANDSEKAP-INTERIOR-3D DESAIN-ESTIMASI

4

Jumat, 05 Januari 2007

Kesejajaran Arsitektur Bangunan Suci India dan Jawa Kuna 3

IV

Tidak dapat diingkari bahwa arsitektur bangunan suci Hindu-Buddha di Jawa telah mendapat pengaruh yang kuat dari India. Hal itu terjadi seiring dengan diterimanya agama Hindu-Buddha dalam masyarakat Jawa Kuna. Karena sistem keagamaannya diterima, maka sudah tentu didirikanlah tempat-tempat suci sebagai sarana peribadatannya. Dalam perkembangannya, ternyata arsitektur bangunan suci Hindu-Buddha di Jawa telah mendapatkan coraknya tersendiri yang berbeda dengan bangunan sejenis di India.

Kenyataan seperti itu pada dasarnya tidak hanya terjadi di Jawa, tetapi juga dapat dijumpai di wilayah-wilayah lainnya di daratan Asia Tenggara, misalnya pada bangunan suci Campa, Khmer (Kamboja), dan Thailand. Pengaruh India tersebut mungkin masuk ke wilayah Asia Tenggara pada sekitar awal tarikh Masehi, kemudian pengaruh yang datang itu diolah kembali untuk dijadikan seperti milik sendiri oleh penduduk-penduduk pribumi yang menerimanya.

Dalam hal arsitektur bangunan suci Hindu-Buddha di India dan Jawa yang lebih dirasakan adalah adanya kesejajaran (parallelism) setelah agama Hindu-Buddha dari India diterima oleh masyarakat Jawa Kuna. Pada awalnya memang pengaruh India banyak mengilhami pendirian karya monumen keagamaan pada sekitar abad ke-8 M, ketika peradaban Hindu-Buddha baru mulai marak berkembang. Dalam periode selanjutnya karya arsitektur Jawa Kuna mendapatkan jalannya tersendiri untuk berkembang, berlanjut, atau pun punah.

Kesejajaran yang dapat diamati adalah dalam hal konsepsi dasarnya saja, sedangkan dalam segi visualisasi untuk menjadi bentuk kebudayaan materi (bangunan, arca dan relief), terdapat perbedaan yang nyata. Dalam hal konsepsi keagamaan pun apabila dikaji lebih mendalam tetap ada perbedaan, bukankah visualisasi menjadi kebudayaan materi adalah cerminan dari konsepsi. Dengan demikian mengapa candi-candi di Jawa berbeda dengan kuil-kuil pemujaan dewa di India, hal itu sangat mungkin karena cerminan konsepsi yang berbeda pula.

Pengaruh agama dari India yang datang ke Jawa diolah lagi oleh para pendeta-pemikir Jawa Kuna, lalu muncul gagasan yang memadukan hakekat Siva-Buddha. Oleh karena ada perpaduan itu, maka peralatan ritusnya pun menjadi berbeda, tidak lagi sama dengan di tanah asalnya.

-------------------

* Tulisan ini disampaikan pada acara SIMPOSIUM TENTANG IKATAN KEBUDAYAAN ANTARA INDONESIA DENGAN INDIA, yang diselenggarakan oleh Pusat Kebudayaan India Jawaharlal Nehru (Kedutaan Besar India) bekerja sama dengan Universitas Indonesia dan Bhaskara, di Auditorium Erasmus Huis Jakarta pada tanggal 30 Maret 2005.

PUSTAKA ACUAN

· BERNET KEMPERS, A.J., 1959, Ancient Indonesian Art. Amsterdam: C.P.J.van Der Peet.

· BOSCH, F.D.K, 1924, “A Hypothesis as to the Origin of Indo-Javanese Art”, Rupam No.17.

· BRANDES, J.L.A., 1887, “Een Jayapattra of acte van eene rechterlijke uitspraak van Saka 849, TBG. Halaman 98—147.

· BROWN, PERCY, 1959, Indian Architecture (Buddhist and Hindu Periods). Bombay: D.B.Taraporevala Sons & Co. Private Ltd.

· BUDIHARDJO, EKO, 1991, Architectural Conservation in Bali. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

· CHIHARA, DAIGORO, 1996, Hindu-Buddhist Architecture in Southeast Asia. Studies in Asian Art and Archaeology Continuation of Studies in South Asian Culture. Leiden-New York-Koln: E.J.Brill.

· CHRISTIE, JAN WISSEMAN, 1999, “Asian Sea Trade between the Tenth and Thirteenth Centuries and Its Impact on the States of Java and Bali” dalam Himanshu Prabha Ray (editor), Archaeology of Seafaring: The Indian Ocean in the Ancient Period. Delhi: Pragati Publications.

· COOMARASWAMY, ANANDA K., 1985, History of Indian and Indonesian Art.
New York: Dover Publications, Inc.

· DUMARCAY, JACQUES, 1999, “Bentuk Kedua Candi Lumbung dan Candi Bima”, dalam Henri Chambert-Loir & Hasan Muarif Ambary, Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof.Dr.Denys Lombard. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi asional, Yayasan Obor Indonesia. Hlm.415—424.

· SUMADIO, BAMBANG (Penyunting), 1984, Sejarah Nasional Indonesia II: Jaman Kuna.Jakarta: Balai Pustaka.

WIRJOSOEPARTO, SOETJIPTO, 1957, Seni Bangunan Kuno di Dieng. Jogjakarta: Kalimosodo.

Dr. Agus Aris Munandar
Program Studi Arkeologi Indonesia
Departemen Arkeologi-Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Sumber: http://www.arkeologi.net/index1.php?id=view_news&ct_news=608

Arkeologi Teror

Setelah peledakan bom dahsyat Oktober 2002, Bali kembali diguncang bom di Kuta, Jimbaran dan Nusa Dua, menewaskan puluhan dan melukai ratusan orang. Peledakan di tempat, bulan dan pola yang hampir sama menunjukkan, teror dan terorisme berlangsung seperti siklus, mengikuti regularitas, sehingga mampu mereproduksi diri sendiri.

Siklus, regularitas, dan reproduksi teror memampukan teroris mengorganisasi ruang (tempat peledakan), waktu (kapan diledakkan), sehingga ada waktu yang dianggap ”musim panen” terorisme (biasanya September-Oktober) di dalamnya berbagai peristiwa teror besar berlangsung— the regularity of terror.

Kemampuan yang tinggi dalam mengorganisasi ruang, waktu, taktik, strategi dan ”teknologi teror” itu sendiri memperlihatkan bahwa ada seperangkat ”pengetahuan”, metode diseminasi, paradigma dan konstruksi sosial pengetahuan tertentu yang dikembangkan di dalam terorisme sehingga ia mampu melakukan tindak sosial (peledakan, penghancuran) secara reguler dan sistematis—the knowledge of terror.

Berbeda dengan bentuk-bentuk tindak sosial dan kekerasan lainnya yang hanya dilihat sebagai sebuah fenomena fisik semata, tindak kekerasan di dalam teror dapat dilihat sebagai sebuah ’pernyataan’ (statement), yaitu tindak kekerasan sebagai cara untuk mengomunikasikan pesan (politik) tertentu. Sehingga, teror harus dilihat pula sebagai sebuah bentuk komunikasi atau wacana, yang pernyataannya menuntut sebuah jawaban, respons atau reaksi dari pihak lain—the discourse of terror.

Meskipun para teroris sebagai ’pengirim pesan’ (sender) tidak pernah menampakkan dirinya—dan sering kali menjadi sebuah misteri bahkan mitos—tindak dan ”pernyataan” para teroris (berupa peledakan bom dan bentuk teror lainnya) adalah nyata dan konkret, yang memerlukan upaya intensif tidak saja membongkar para pelakunya, tetapi juga menafsirkan pesan-pesan (messages) yang ingin disampaikannya.

Arkeologi teror

Disebabkan teror adalah sebuah wacana (discourse), yang di dalamnya tidak hanya beroperasi berbagai tindakan fisik, melainkan juga berbagai ”pernyataan” atau ”pesan” tertentu yang menuntut respons tertentu, maka sesungguhnya ada sebuah ’formasi wacana’ (discourse formation) tertentu yang membangun tindakan terorisme, dengan memanfaatkan secara maksimal berbagai kondisi sosial, politik, ekonomi, dan kultural yang ada.

Michel Foucault di dalam The Archeology of Knowledge (1989) menjelaskan berbagai bentuk wacana (termasuk wacana terorisme) sebagai sebuah bentuk ’arkeologi’ (archeology), yaitu istilah khusus untuk menjelaskan bagaimana pengetahuan yang dikembangkan, relasi sosial yang terbentuk, aktor-aktor dan institusi yang terlibat, serta formasi bahasa (termasuk bahasa kekerasan) yang digunakan akan sangat menentukan pernyataan dan makna yang beroperasi di dalam wacana (termasuk wacana terorisme).

”Arkeologi teror” menunjukkan intensifnya pengetahuan (savoir) yang dilibatkan di dalam setiap tindakan teror: teknologi teror (pengetahuan bahan, teknologi merakit, prosedur meledakkan), sosiologi teror (kondisi sosial, relasi sosial dan formasi sosial yang ada), psikologi teror (suasana hati dan kondisi psikologis yang mendukung), dan politik teror (relasi kekuasaan dan struktur politik yang ada). Teror tidak saja sarat kekerasan, tetapi juga sarat pengetahuan.

”Arkeologi teror” menunjukkan intensifnya ”riset” yang dilakukan untuk mendukung sebuah tindakan teror: aspek geografis tentang di mana akan melakukan aksi teror, aspek sosial tentang siapa korban yang akan menjadi sasaran, observasi intensif pada lokasi sasaran, pengintaian (surveillance) pada gerak-gerik di dalam lokasi itu, aspek teknologis tentang besarnya tenaga ledakan dan besarnya efek kehancuran yang dihasilkannya.

”Arkeologi teror” menunjukkan strategi, taktik dan teknik tinggi yang digunakan di dalam sebuah tindakan teror, melalui kemampuan tinggi menafsirkan kondisi ruang-waktu yang ada untuk menentukan keputusan-keputusan yang diambil: mengapa meledakkan di Kuta, Jimbaran, dan Nua Dua, bukan di kota lain; mengapa meledakkan pada tanggal 1 Oktober malam, bukan waktu yang lain; mengapa melakukan bom jarak jauh, bukan bom bunuh diri.

”Arkeologi teror” menunjukkan ’politik waktu’ (chronopolitics) yang digunakan di dalam tindakan teror, yaitu politik global pengorganisasian waktu dan intensitas penyerangan, yang membentuk sebuah siklus dan regularitas teror. Peledakan bom Bali Oktober 2005 ini yang hampir bersamaan dengan peledakan Oktober 2002 menunjukkan pola regularitas ini, yang menjelaskan tentang siklus ke depan aktivitas terorisme.

”Arkeologi teror” menunjukkan ’efek wacana’ (effect of discourse) terhadap masyarakat pada umumnya, melalui penafsiran terhadap ”pernyataan teror”, pesan-pesan (sosial-politik) yang ingin dikomunikasikan, dan respons sosial yang dihasilkan (ketakutan, trauma, paranoia). Peledakan bom Bali yang hampir bersamaan dengan kenaikan harga bahan bakar minyak telah menimbulkan efek ganda teror, yang memungkinkan orang mencari relasinya dengan kenaikan itu, di samping relasi-relasi lainnya—the double effect of terror.

Regularitas teror

Meskipun aksi teror mempunyai siklus, regularitas, dan model reproduksi sosialnya sendiri sebagai sebuah wacana, bukan berarti bahwa tindakan teror dapat diprediksi secara tepat, akurat dan presisi kapan dan di mana ia akan terjadi. Akan tetapi, setidak-tidaknya ”tipologi teror”, baik ”tipologi waktu” (September-Oktober) dan ”tipologi ruang” (hotel, restoran, kafe, mal, kedutaan, bank, perkantoran) dapat menunjukkan arah dan tren teror di masa depan.

Wacana teror yang mempunyai model pengetahuan, teknologi, strategi, taktik, teknik, regularitas, metode, sistematika, dan ”epistemologi” yang jelas menunjukkan bahwa terorisme kini telah menjadi semacam ”disiplin” atau ”institusi” yang mampu memproduksi tidak saja tindakan sosial, tetapi juga tindak komunikasi (pesan, makna) yang berdisiplin, sistematis dan reguler sehingga menuntut pula regularitas, intensivitas, konsistensi dan disiplin tinggi dalam menghadapinya—the discipline of terror.

Akan tetapi, mentalitas masyarakat maupun otoritas berwenang yang cenderung reaktif, emosional, sporadis, tak sistematis, inkonsisten dan indisipliner—dibandingkan mentalitas para teroris yang proaktif, rasional, sistematis, konsisten, disipliner—menjadi sebuah alasan utama mengapa di dalam setiap ”perang mental” ini para teroris selalu menjadi ”pemenang”, dengan masih leluasanya mereka menyusup, menyelinap, dan melakukan berbagai tindakan peledakan, penghancuran dan pembunuhan di dalam ketersembunyiannya.

Bila regularitas, sistematika, konsistensi, dan disiplin para teroris ini tidak dapat diimbangi oleh aparat keamanan dan otoritas berkepentingan lainnya di masa depan, maka siklus teror—dengan segala regularitasnya—akan selalu muncul di masa depan, tanpa ada yang tahu secara persis kapan, di mana, dan siapa sasarannya. Akibatnya, aura kehancuran, aroma bercak darah, tangisan kematian, dan hantu-hantu trauma akan tetap menjadi bagian dari regularitas dunia kehidupan kita di masa depan—the archeology of terror.

Yasraf Amir Piliang Ketua Forum Studi Kebudayaan (FSK) FSRD, Institut Teknologi Bandung

Entri Populer

CATATAN,ILMU,SEJARAH ARSITEKTUR