satu

Arch Efan
Architecture & Design
Adsense Indonesia

3

SIAP MEMBANTU JASA ARSITEKTUR-LANDSEKAP-INTERIOR-3D DESAIN-ESTIMASI

4

Jumat, 05 Januari 2007

Kesejajaran Arsitektur Bangunan Suci India dan Jawa Kuna 2

II

Pada bagan tersebut terlihat kaitan antara masyarakat-seni-agama saling berasosiasi, ketiganya menunjang terbentuknya suatu karya arsitektur. Dengan demikian suatu karya arsitektur sebaik apapun, apabila dalam pandangan masyarakat dan apalagi dianggap tidak sesuai dengan kaidah keagamaan Hindu atau Buddha, sudah tentu karya arsitektur tersebut tidak mendapat apresiasi, bahkan mungkin sekali diabaikan saja atau malahan dibongkar kembali. Lain halnya apabila karya arsitektur tersebut dipandang memenuhi hasrat kehidupan keagamaan masyarakat, maka struktur yang paling sederhana pun akan tetap diapresiasi dan dianggap sebagai objek sakral.

Kesenian terikat yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Jawa Kuna, sangat mungkin telah berakar jauh dalam zaman ketika pengaruh India belum masuk ke kepulauan Indonesia. Melalui berbagai peninggalan megalitik dapat diketahui bahwa penduduk kepulauan ini telah mengenal adanya religi yang mengkultuskan arwah nenek moyang.

Bentuk penghormatan terhadap arwah leluhur tersebut berkembang seiring dengan pemujaan terhadap tempat-tempat tinggi seperti lereng gunung, dataran tinggi, dan puncak-puncak gunung. Sebagai media pemujaan dalam relii tersebut merekam mendirikan bangunan-bangunan megalitik di daerah ketinggian tersebut, seperti menhir, dolmen, kubur batu, teras bertingkat (punden berundak), dan susunan batu-batu artifisial lainnya. Kultus leluhur tersebut untuk beberapa waktu agaknya telah “diendapkan” ketika pengaruh agama Hindu-Buddha sedang berada di puncak perkembangannya antara abad ke-8—10 M di wilayah Jawa bagian tengah. Kemudian setelah diendapkan beberapa lama, religi yang dikembangkan dalam masa perundagian itu lalu hidup kembali dalam era Majapahit antara abad ke-14—15 M.

Dengan demikian ketika pengaruh kebudayaan India masuk dan diperkenalkan di tengah-tengah masyarakat prasejarah di kepulauan Indonesia, mereka bukanlah suatu masyarakat yang liar dan biadab, tetapi benih kebudayaan India itu disemaikan di lahan yang tepat dan subur, masyarakat prasejarah Indonesia yang beradab.

III

Karya Arsitektur awal yang masih dapat bertahan hingga kini dari masa perkembangan agama Hindu-Buddha di Jawa hanya beberapa bangunan saja. Misalnya Candi Gunung Wukir di Magelang, beberapa candi di dataran tinggi Dieng, candi-candi Gedong Songo di Ambarawa (Jawa Tengah), dan Candi Badut di Malang (Jawa Timur). Di antara candi-candi tersebut yang dihubungkan dengan prasasti yang berkronologi adalah Candi Gunung Wukir dengan prasasti Canggal (tahun 732 M) dan Candi Badut dengan prasasti Dinoyo (tahun 760 M).

Candi Badut keadaannya jauh lebih baik dari pada Candi Gunung Wukir karena bangunan itu masih menyisakan bagian kaki dan tubuhnya, sedangkan atapnya tidak ada lagi karena rusak (runtuh). Adapun candi-candi Pervaranya yang berjumlah 3 bangunan hanya tersisa pondasinya saja. Sedangkan di situs Candi Gunung Wukir sekarang ini hanya dijumpai sisa bangunan candi, yaitu bagian kaki candi terbawah yang di permukaannya --dalam posisi yang miring-- terdapat batu yoni. Di depan sisa candi itu masih terdapat 3 candi Pervara yang hanya meninggalkan bagian kaki dan sedikit dinding tubuhnya, atap candi-candi Pervara itu tidak ada lagi. Akan halnya candi-candi Dieng dan Gedong Songo strukturnya masih relatif utuh, ada bagian kaki, tubuh, dan atapnya, walaupun memang tidak sempurna sekali. Ukuran candi-candi itu pun relatif kecil apabila dibandingkan dengan candi-candi yang dibangun dalam masa yang kemudian.

Sangat mungkin ketika pengaruh agama Hindu-Buddha mulai diterima dan berkembang dalam masyarakat Jawa Kuna, tradisi mendirikan bangunan suci dalam bentuk lengkap seperti pada umumnya, yaitu terdiri dari kaki, tubuh, dan atap bangunan masih belum dikenal secara baik. Jacues Durmacay seorang arsitek yang mendalami peninggalan arsitektur Jawa Kuna pernah menyatakan bahwa pada awalnya bangunan suci dalam masyarakat Jawa Kuna (candi) tidak didirikan dalam bentuk lengkap, melainkan hanya berupa bangunan batur (soubasement) yang di permukaannya diletakkan objek-objek sakral (Lingga-Yoni dan arca-arca), jadi candi-candi bersifat terbuka dan arca utama kelihatan dari luar (Dumarcay 1999: 415). Objek sakral itu kemudian dinaungi oleh atap dari bahan yang mudah rusak, seperti ijuk, jalinan rumput ilalang kering, kayu dan bambu. Oleh karena itu bagian atap tidak dapat dijumpai lagi hingga sekarang. Pada sekitar awal abad ke-9 terjadi perombakan besar-besaran terhadap bangunan-bangunan suci demikian, dengan ditambahi dengan dinding, relung-relung, serta struktur atap yang terbuat dari bahan yang tahan lama (batu). Pendapat itu didasarkan pada dijumpainya beberapa susunan perubahan dan tambahan pada beberapa candi di Jawa Tengah, misalnya pada candi Bima di Dieng, Candi Lumbung di daerah Prambanan, dan candi-candi Pervara di kelompok percandian Sewu (Dumarcay 1999: 416--7).

Demikianlah agaknya setelah pengaruh dari India itu mulai lancar memasuki masyarakat Jawa Kuna, maka bangunan-bangunan suci yang didirikan di Jawa pun dibuat sesuai dengan kaidah ajaran Hindu atau Buddha. Bentuk candi-candi di Jawa kemudian ada yang mirip dengan kuil-kuil pemujaan dewa yang ada di India.

Terdapat kemungkinan bahwa beberapa bangunan bangunan candi di Jawa bagian tengah bentuk arsitekturnya diilhami oleh bangunan-bangunan suci di India. Beberapa bangunan di Mahabalipuram seperti Arjuna Ratha, Draupadi Ratha dan Dharmaraja Ratha dan beberapa bangunan lainnya yang merupakan peninggalan dinasti Pallava bentuknya sangat mirip dengan candi-candi di dataran tinggi Dieng (Nath 1996: Plate XXIX—XXX, & XXXII)

Agaknya gaya arsitektur bangunan suci masa Gupta dan sesudah Gupta di daerah tengah dan barat India, serta arsitektur bangunan suci yang dikembangkan oleh dinasti Pala di wilayah timur laut India dapat dipertimbangkan pula sebagai akar bagi pengembangan bangunan-bangunan candi di Jawa bagian tengah (Chihara 1996: 98—9). Begitupun bangunan Candi Bima di Dieng sangat mungkin juga didasarkan pada seni bangunan suci Orissa di India. Puncak atap Candi Bima yang sekarang telah rusak, sangat mungkin dahulu dihias dengan bentuk amalaka.Bentuk demikian biasa dijumpai menjadi penghias puncak atap sikhara pada kuil pemujaan dewa di India, misalnya pada bangunan Parasuramesvara di Bhuvanesvara (Coomaraswamy 1985: 202, plate 216).

Dalam hal pembangunan monumen-monumen keagamaan Hindu-Buddha di Jawa pada masa silam, agaknya terdapat beberapa faktor yang mempengaruhinya. Ketika agama Hindu atau Buddha sudah diterima oleh masyarakat Jawa Kuna, konsep-konsep dasar tentang pembuatan bangunan suci, arca, dan ornamen lainnya pun kemudian diterima pula. Dalam bagan II terlihat sebagai berikut:

Setelah diterima oleh masyarakat Jawa Kuna, kemudian segala pengaruh budaya luar itu diolah kembali dan disesuaikan dengan kondisi lingkungan budaya yang telah berkembang sebelumnya (kebudayaan prasejarah Indonesia). Penyesuaian itu terjadi pula akibat adanya kondisi alam yang sedikit berbeda antara tanah Jambhudvipa dan Jawadvipa.

Jadi ketika anasir budaya India, dalam hal ini agama Hindu-Buddha sudah mulai memasyarakat, mulai pula masyarakat Jawa Kuna mengkreasikannya kembali. Unsur-unsur luar itu tidak diterima begitu saja untuk ditiru. Oleh karena itu dalam hal pendirian bangunan suci, tidak pernah ada bangunan keagamaan Hindu-Buddha dalam masyarakat Jawa Kuna yang mirip sama sekali dengan kuil-kuil pemujaan dewa di India. Memang pada awal perkembangannya, terdapat bangunan-bangunan candi di Jawa Tengah yang mengingatkan peneliti pada bangunan suci India. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, masih di wilayah Jawa Tengah, bangunan suci yang dirikan tidak banyak lagi mempertahankan corak keindiaannya, kecuali pada seni arca dan ornamennya. Bangunan-bangunan seperti itu misalnya dapat dijumpai di wilayah Jawa Tengah bagian selatan, yaitu Candi Barong dan Candi Ijo yang halamannya dibuat bertingkat-tingkat sebagaimana layaknya punden berundak dalam masa prasejarah.

Dalam perkembangan selanjutnya dalam periode Klasik Muda di wilayah Jawa Timur (abad ke13—15 M) arsitektur bangunan suci Hindu-Buddha di Jawa telah memperoleh gayanya tersendiri. Bentuk arsitekturnya apabila diamati akan terdiri dari (a) candi-candi bergaya Singhasari, (b) gaya candi Jago, (c) gaya candi Brahu, dan (d) punden berundak. Dapat dikatakan pengaruh India dalam periode tersebut sudah mulai menipis, yang tampak terlihat adalah pada “permukaannya” saja.

Kompleks bangunan suci terluas di wilayah Jawa Timur, yaitu Candi Panataran pun bentuknya tidak lagi bercorak seperti bangunan suci yang telah dikenal sebelumnya di Jawa Tengah dalam era yang lebih tua. Bentuk bangunan-bangunan di dalam kompleks Panataran kebanyakan berupa arsitektur terbuka, menyebar, dan sebagiannya menggunakan bahan-bahan yang mudah lapuk. Apat dinyatakan bahwa kompleks Panataran tersebut merupakan prototipe bangunan-bangunan suci di Bali (pura) yang didirikan setelah keruntuhan Majapahit dalam awal abad ke-16 hingga sekarang ini (Bernet Kempers 1959: 90--4). Begitupun bentuk punden berundak yang dibangun di lereng gunung, terasakan sekali adanya upaya penghidupan kembali pemujaan arwah nenek moyang (ancestor worship) yang telah lama di kenal dalam zaman prasejarah.

Pengaruh India dalam hal ini hanya tinggal dalam konsep-konsep keagamaannya saja, konsep-konsep kedewataan atau pun cerita-cerita epic yang kemudian digubah kembali oleh para pujangga Jawa Kuna. Dalam hal konsepsi keagamaan pun, hakekat tertinggi dalam agama Hindu dan Buddha dalam masa kerajaan Singhasari (abad ke-13 M) dan Majapahit (abad ke-14—15 M) telah dipadukan menjadi Bhattara Siva-Buddha. Hal yang menarik adalah bahwa perpaduan konsepsi dewata tertinggi itu pun kemudian dituangkan dalam bentuk bangunan suci, misalnya kehadiran nafas Siva dan Buddha akan dirasakan pada arsitektur Candi Jawi (Pasuruan) dan Candi Jago (Malang). Di Candi Jawi, unsur Buddha terlihat pada puncaknya, sedangkan di relung-relung tubuh candinya dahulu berisikan arca-arca Hindu-Saiva khas Jawa. Begitupun di Candi Jago, cerita relief yang dipahatkan banyak yang bernafaskan Hindu-Saiva, adapun arca-arca pelengkap candi itu semuanya bernafaskan Buddha Mahayana. Candi-candi yang bersifat perpaduan seperti itu agaknya sukar untuk ditemukan di Jambhudvipa.
  • LANJUT KE BAB IV
  • Entri Populer

    CATATAN,ILMU,SEJARAH ARSITEKTUR