satu

Arch Efan
Architecture & Design
Adsense Indonesia

3

SIAP MEMBANTU JASA ARSITEKTUR-LANDSEKAP-INTERIOR-3D DESAIN-ESTIMASI

4

Jumat, 18 Februari 2011

KEJAYAAN KERAJAAN SRIWIJAYA 2

Kemunculan dalam Pentas Sejarah

Pulau Sumatra masuk dalam kajian sejarah Indonesia, sejak munculnya kerajaan Sriwijaya sekitar abad ke-7 Masehi. Munculnya kerajaan ini dalam pentas sejarah Indonesia ditandai dengan beberapa inskripsi; sejumlah prasasti, sejumlah arca, dan didukung kuat oleh literatur dari catatan-catatan (kronik) musafir Cina. Sejak tahun 604-an tersebut, sebuah kekuatan politik telah menguasai beberapa tempat, khususnya di wilayah Nusantara bagian barat.

Istilah Sriwijaya bagi bangsa Indonesia sekarang ini bukanlah suatu hal yang asing lagi, nama itu telah masuk dalam perbendaharaan bahasa Indonesia. Pengetahuan mengenai sejarah kerajaan Sriwijaya muncul pada awal abad ke-20 Masehi. Nama Sriwijaya mulai muncul dan dikenal tahun 1918, sejak George Coedes, peneliti berkebangsaan Perancis, menulis buku berjudul Le Royaume de Çriwijaya (Kerajaan Sriwijaya).

Sebelum Coedes menulis karangan Le Royaume de Çriwijaya yang fenomenal itu, pada tahun 1718, E. Renaudot telah menerjemahkan naskah Arab yang berjudul “Akhbaru ‘s-Shin wa ‘l-Hind” (Kabar-kabar Cina dan India) yang ditulis oleh seorang musafir Arab bernama Sulaiman pada tahun 851 M. Naskah itu menceritakan adanya sebuah kerajaan besar di daerah Zabaj (Jawa). Istilah atau kata “Jawa” yang dimaksudkan oleh orang Arab kala itu adalah seluruh wilayah kepulauan Indonesia saat ini. Lalu tahun 1845, J.T. Reinaud menerjemahkan catatan Abu Zaid Hasan yang mengunjungi Asia Tenggara tahun 916 M. Catatan Abu Zaid Hasan mengatakan bahwa maharaja Zabaj bertahta di negeri Syarbazah yang ditransliterasikan oleh J.T. Reinaud menjadi Sribuza.

Catatan atau kronik Cina yang berasal dari abad ke-7 dan ke-8 Masehi banyak menyebutkan keberadaan sebuah negeri atau kerajaan di Nan-hai (Laut Selatan) yang bernama Shih-li-fo-shih. Setelah melalui penelahaan yang mendalam oleh para pakar sejarah, disepakati bahwa Shih-li-fo-shih merupakan transliterasi dari Sriwijaya (kerajaan Sriwijaya).

Sumber-sumber berita dari negeri Cina menyebutkan keberadaan Shih-li-fo-shih berdasarkan kronik Dinasti Tang (618-902 M), kronik perjalanan pendeta Budha I-tsing (671 M), kronik Dinasti Sung (960-1279 M), kronik Ling-wai Tai-ta oleh Chou Ku Fei (1178 M), kronik Chu-fan-chi oleh Chau Ju-kua (1225 M), kronik Tao Chih Lio oleh Wang Ta Yan (1345 M), kronik Dinasti Ming (1368-1643 M), dan kronik Ying-yai Sheng-lan oleh Ma Huan (1416 M).

Kata Sriwijaya dijumpai pertamakali tertulis di Prasasti Kota Kapur di pulau Bangka. Prasasti yang ditemukan tahun 1892 dan berangka tahun 608 Saka atau 686 M memuat keterangan Sriwijaya menaklukkan bumi Jawa yang tidak tunduk kepada Sriwijaya.

Pada tahun 1913, peneliti Hendrik Kern mengindentifikasikan Sriwijaya adalah nama seorang raja, yaitu Raja Wijaya. Alasannya, karena gelar Sri biasanya dipakai sebagai sebutan atau gelar seorang raja. Lima tahun kemudian (1918) pendapat Kern dibantah oleh Coedes. Coedes berpendapat, berdasarkan telaah teks pada Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Palembang dan catatan-catatan perjalanan para pendeta Cina bahwa Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan.

Alasan-alasan Coedes adalah, pertama, dalam Prasasti Kota Kapur; pada baris ke-2 tercantum kalimat kedatuan Çriwijaya (kerajaan Sriwijaya), baris ke-4 tercantum kalimat datu Çriwijaya (raja Sriwijaya), dan baris ke-10 tercantum kalimat walla Çriwijaya (tentara Sriwijaya). Kedua, dalam Prasasti Ligor tertulis jelas ungkapan Çriwijayendraja (raja Sriwijaya). Ketiga, Prasasti yang dikeluarkan raja India, Raja I, pada tahun 1006, yang dikenal dengan nama Piagam Leiden (karena tersimpan di Leiden, Belanda), menyebutkan istilah Marawijayatunggawarman, raja Çriwijaya (Sriwijaya) dan Kataha (Kedah). Dan keempat, nama Çrivijayam (Sriwijaya) juga terdapat dalam daftar nama-nama negeri yang disebut oleh raja Chola (Cholomandala), Rajendracola I, pada tahun 1025, seperti yang tercantum dalam prasasti yang ditemukan di Tanjore, India Selatan.

Selain itu, Coedes mengemukakan bahwa nama Sriwijaya yang ditransliterasikan dalam kronik-kronik Cina dengan nama Shih-li-fo-shih atau San-fo-tsi adalah kerajaan Sriwijaya. Sejak tahun 1918, kerajaan Sriwijaya makin populer di kalangan para peneliti sejarah. Para peneliti sejarah banyak yang tertarik untuk menulis tentang Sriwijaya, di antaranya, J.P. Vogel menulis karangan Het Koninkrijk Çrivijaya, tahun 1919.

Tahun itu juga, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar Universitas Leiden, N.J. Krom bertema sejarah Sriwijaya dengan judul “De Sumatraansche Periode des Javaansche Geschiedenis” (bukunya berjudul Hindoe Javaansche Geschiedenis terbit tahun 1926). Tahun 1920, C.O. Blagden menulis karangan The Empire of the Maharaja, King of The Mountains and Lord of the Isles. Dua tahun kemudian atau pada tahun 1922, G. Ferrand juga menyusun sejarah Sriwijaya secara lebih sistematis dan kronologis dengan judul L’Empire Sumatranais de Çrivijaya.

Peran Coedes dalam mengangkat keberadaan Sriwijaya yang telah berabad-abad terpendam, banyak berpengaruh dalam penulisan sejarah Sriwijaya pada periode selanjutnya. Bukti-bukti keberadaaan kerajaan Sriwijaya ini diperkuat lagi dengan ditemukannya dua prasasti di Palembang tahun 1920, yaitu Prasasti Kedukan Bukit dan Prasasti Talang Tuwo.

Prasasti dan Arca

Prasasti merupakan sumber sejarah tulisan berupa benda atau artefak yang berbentuk tiga dimensional, seperti batu, logam, kayu, dan lain-lain. Berita mengenai kerajaan Sriwijaya mulai dikenal dan semakin populer sejak ditemukannya beberapa prasasti yang umumnya berasal dari abad ke-7 Masehi.

Menurut arkeolog Bambang Budi Utomo, prasasti-prasasti yang ditemukan di wilayah Sumatra bagian selatan/tenggara berkisar 31 prasasti yang sebagian besar berasal dari masa Sriwijaya. Prasasti yang berasal dari abad k-7 Masehi berjumlah 25 buah. Isinya berkenaan dengan persumpahan dan siddhayatra (perjalanan suci). Sebagian besar prasasti tersebut ditemukan di wilayah Palembang saat ini, yakni 23 buah prasasti, termasuk Prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuwo, Telaga Batu, dan Boom Baru. Keterangan prasasti-prasasti tersebut adalah sebagai berikut.

Prasasti Kedukan Bukit

Prasasti Kedukan Bukit ditemukan pada akhir 29 November 1920 di kebun pak H. Jahri, tepi sungai Tatang, desa Kedukan Bukit di kaki Bukit Siguntang yang letaknya di sebelah barat daya Palembang, Sumatra Selatan saat ini. Prasasti itu dikenali oleh seorang kontrolir Belanda yang penggemar sejarah, Batenburg, yang kemudian melaporkan penemuan itu ke Dinas Purbakala (Oudheidkundigen Dienst).

Prasasti yang berbentuk bulat-telur tersebut merupakan prasasti tertua dari masa Sriwijaya dengan angka tahun 604 Saka atau 682 M (tahun Saka dikonversi dengan tahun Masehi ditambah 78 tahun), terbuat dari batu andesit dengan ukuran panjang batu lebih-kurang 42 cm dan kelilingnya 80 cm. Sekarang, prasasti yang terdiri dari sepuluh baris, ditulis dengan huruf Pallawa, dan berbahasa Melayu Kuno ini disimpan di Museum Nasional Jakarta.

Teks Prasasti Kedukan Bukit:

(1)swasti sri sakawarsatita 605 ekadasi su (2) klapaksa wulan waisakha dapunta hiyam nayik di (3) samwau manalap siddhayatra di saptami suklapaksa (4) wulan jyestha dapunta hiyam marlapas dari minana (5) tamwan mamawa yam wala dualaksa danan ko- (6) duaratus cara di samwau danan jalan sariwu (7) tluratus sapulu dua wanakna datam di mata jap (8) sukhacitta di pancami suklapaksa wula [n]… (9) laghu mudita datam marwuat wanua … (10) sriwijaya jaya siddhayatra subhiksa …

Terjemahan oleh G. Coedes:

Kemakmuran! Keberuntungan! Pada tahun Saka telah lewat 605, hari kesebelas paruh terang bulan Waisakha, Sri Baginda naik kapal mengambil kesaktian. Hari ketujuh paruh terang bulan Jyestha, raja membebaskan diri dari […]. ia memimpin bala tentara yang terdiri dari dua puluh ribu [orang]; pengikut […] sejumlah dua ratus orang menggunakan perahu, pengikut yang berjalan kaki sejumlah seribu tiga ratus dua belas orang tiba di hadapan [raja?], bersama-sama, dengan sukacitanya. Hari kelima paruh terang bulan […], ringan, gembira, datang dan membuat negeri […] Sriwijaya, sakti, kaya […].

Isi teks Prasasti Kedudukan Bukit di atas menyebutkan perjalanan Dhapunta Hyang bersama balatentaranya untuk mendirikan wanua atau suatu wilayah, sehingga akhirnya Sriwijaya menang dan makmur.

Prasasti Talang Tuwo

Prasasti Talang Tuwo ditemukan di sekitar muara sungai Lambidaro dan ujung sungai Sekanak, desa Talang Tuwo (sekarang masuk Kecamatan Talang Kelapa) pada 17 November 1920 oleh L.C. Westenenk, pejabat Belanda yang bertugas di Palembang. Desa ini termasuk dalam kawasan Gandus, di sebelah barat Palembang. Prasasti yang terdiri dari 14 baris ini berhuruf Pallawa, berbahasa Melayu Kuno, dan berangka tahun 606 Saka (684 M). Prasasti yang berbentuk persegi empat (jajaran genjang) ini sekarang disimpan juga di Museum Nasional Jakarta.

Teks Prasasti Talang Tuwo:

(1) swasti sri sakawarsatita 606 dim dwitiya suklapaksa wulan caitra sana tatkalana parlak sriksetra ini niparwuat (2) parwandha punta hiyam srijayanasa ini pranidhananda punta hiyam sawanakna yam nitanam di sini niyur pinam hanau ru (3) mwiya dnan samisrana yam kayu nimakan wuahna tathapi haur wuluh pattum ityewamadi punarapi yam parlak wukan (4) dnan tawad talaga sawanakna yam wuatku sukarita parawis prayojanakan punyana sarwwasatwa sakaracara waro payana tmu (5) sukha di asannakala di antara margga lai tmu muah ya ahara dnan air niminumna sawanakna wuatna huma parlak mancak mu (6) ah ya mamhidupi pasu prakara marhulun tuwi wrdddhi muah ya janan ya niknai sawanakna yam upasargga pidanu swapnawigha waram wua (7) tana kathamapi anukula yam graha naksatra parawis diya nirwyadhi ajara kawuatanana tathapi sawanakna yam bhrtyana (8) satyarjjawa drdhabhakti muah ya dya yam mitrana tuwi janan ya kapata yam minina mulan anukula bharyya muah ya waram stha….

Terjemahan oleh G. Coedes:

Kemakmuran! Keberuntungan! Tahun Saka 606, hari kedua paruh bulan Çaitra: pada saat itulah taman ini (yang dinamai) Sriksetra dibuat di bawah pimpinan Sri Baginda Sri Jayanasa. Inilah niat Sri Baginda: Semoga segala yang ditanam di sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat dimakan, demikian pula bambu haur, wuluh dan pattum, dan sebagainya; dan semoga juga taman-taman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat dipergunakan untuk kebaikan semua mahluk, yang dapat pindah tempat dan yang tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan. Jika mereka lapar waktu beristirahat atau dalam perjalanan, semoga mereka menemukan makanan serta air minum. Semoga semua kebun yang mereka buka menjadi berlebih [panennya]. Semoga suburlah ternak bermacam jenis yang mereka pelihara, dan juga budak-budak milik mereka. Semoga mereka tidak terkena malapetaka, tidak tersiksa karena tidak bisa tidur. Apa yang mereka perbuat, semoga semua planet dan rasi menguntungkan mereka, dan semoga mereka terhindar dari penyakit dan ketuaan selama menjalankan usaha mereka. Dan juga semoga semua hamba mereka setia pada mereka dan berbakti, lagi pula semoga mana pun mereka berdoa, semoga di tempat itu tidak ada pencuri, atau orang yang mempergunakan kekerasan, atau pembunuh, atau penzinah. Selain itu, semoga mereka mempunyai seorang kawan sebagai penasihat baik; semoga dalam diri mereka lahir pikiran Bodhi dan persahabatan ….

Inti isi dari Prasasti Talang Tuwo tersebut menyebutkan tentang pembuatan Taman Sriksetra oleh raja Sriwijaya yang bernama Sri Jayanasa.

Prasasti Telaga Batu

Prasasti Telaga Batu ditemukan pada tahun 1935 di Telaga Batu, Sabokingking 2 Ilir, Palembang tidak berangka tahun. Prasasti yang dihiasi gambar kepala ular kobra berkepala tujuh ini tediri dari 28 baris. Menurut F.M Schnitger prasasti ini berasal dari abad ke-9 Masehi atau ke-10 Masehi, tetapi menurut J.G. de Casparis prasasti ini berasal dari pertengahan abad ke-7 Masehi.

Bentuk (rupa) prasasti ini dibandingkan dengan prasasti lain dinilai paling artistik dan indah, berbentuk telapak kaki, menunjukkan masyarakat Sriwijaya telah memiliki seniman patung yang mumpuni. Di lokasi situs ini juga ditemukan batu yang bertuliskan sidhayatra (perjalanan kemenangan atau suci). Diperkirakan tempat ini merupakan suatu tempat berziarah yang penting ketika itu.

Dilihat dari perupaan Prasasti Telaga Batu ini, yang tampak adalah tujuh kepala ular kobra dan pada bagian bawah prasasti terdapat bentuk rel atau saluran yang simetris antara kiri dengan kanan dan bertemu di bagian tengahnya seperti pancuran air. Dari bentuk dan perupaan pancuran itu menggambarkan dua alat kelamin sekaligus (hermaprodit), yang bila dihubungkan dengan kosmologi mistis merupakan simbol kesuburan. Prasasti ini adalah satu-satunya prasasti Sriwijaya yang bukan hanya berisi tulisan, tetapi juga terdapat bentuk atau image. Ketujuh kepala ular kobra yang ada pada bagian atas prasasti dapat diinterpretasikan sebagai upaya raja Sriwijaya untuk menjaga agar isi atau teks prasasti yang dipahatkan itu tetap dipatuhi. Sekarang ini, prasasti yang berbahasa Melayu Kuno dan berhuruf Pallawa ini, disimpan di Museum Nasional, Jakarta.

Teks Prasasti Telaga Batu

(1) om siddham titam hamwan wari awai kandra kayet nipaihumpa, an amuha ulu (2) lawan tandrum luah makamatai tandrun luah an hakairu muah kayet nihumpa unai ume (3) ntem bhakti ni ulun haraki unai tunai kamu wanak mamu rajaputra, prostara, bhupati, senapati, nayata, pratyaya, hajipratyaya, dandanayaka (4) …. murddhaka tuha an watakwuruh, addhyaksi nijawarna, vasikarana, kumaramatya, cathabhata, adhikarana, karmma, kayastha, sthapaka, puhawan, waniyaga, pratisara da (5) kamu marsi haji, hulun hajo, wanak mamu uram niwunuh sumpah dari mammam kamu kadaci kamu tida bhakti dyaku niwunuh kamu sumpah tuwi mulam kadasi kamu drohaka wanun luwi yam marwuddhi.

Terjemahan oleh G. Coedes:

Om! Semoga berhasil…. Kamu semua, berapapun banyaknya, putra raja…, bupati, senapati, nayaka, pratiyaya, orang kepercayaan (?) raja, hakim, pemimpin… (?) kepala para buruh, pengawas kasta rendah, vasikarana, kumaramatya, catabhata, adhikarana…,…(?), pekerja, pemahat, nakhoda, pedagang, pemimpin,…(?), dan kamu tukang cuci rajadan budak raja. Kamu semua akan mati oleh kutukan ini, jika kamu tidak setia kepadaku, kamu akan mati oleh kutukan. Selain itu, jika kamu berlaku sebagai penghianat, berkomplot dengan orang-orang (?)…

Isi teks Prasasti Telaga Batu pada dasarnya juga merupakan suatu kutukan raja Sriwijaya kepada para pengikutnya; para pembesar

Prasasti Kota Kapur

Prasasti ini ditemukan pada Desember 1892 di lahan yang dikelilingi benteng tanah di tepi sungai Mendo, desa Kota Kapur, sebelum desa Penagan, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka. Prasasti Sriwijaya yang berangka tahun 686 M ini, tingginya 150 cm. Berisi teks yang terdiri dari 10 baris, berhuruf Pallawa, dan berbahasa Melayu Kuno. Sekarang prasasti ini disimpan di Museum Nasional, Jakarta.

Prasasti Kota Kapur ini bila dilihat secara perupaan sangat berbeda dengan prasasti-prasasti Sriwijaya lainnya, karena bentuk prasasti ini vertikal menyerupai menhir pada masa tradisi megalitik.

Teks Prasati Kota Kapur:

siddha titam hamwan wari awai kandra kayet ni paihumpaan namuha ulu lawan tandrun luah makamatai ta ndrum luah minunu paihumpaan hakairu muah kayet nihumpa u nai tunai (2) umentem bhakti niulun haraki unai tunai kita sawanakta de wata mahar dhika sannidhana mamraksa yam kadatuan sriwijaya kita tuwi tandrun luah wanakta dewata mulana yam parsumpahan (3) parawis kadaci yam uram di dalamna bhumi ajnana kadatuan ini parawis drohaka hanun samawuddhi la wan drohaka manujari drohaka niujari drohaka tahu dim drohaka niujari drohaka tahu dim drohaka tida ya (4) mar padah tida ya bhakti tida ya tatwarjjawa diy aku dnan di iyam nigalarku sanyasa datua dhawa wuatna uram inan niwunuh ya sumpah nisuruh tapik ya mulam parwwandan datu sriwi(5)jaya talu muah ya dnan gotrasantanana tathapi sawanakna yam wuatna jahat makalanit uram makasa kit makagila mantra gada wisaprayoga upuh tuwa tamwal….

Terjemahan oleh G. Coedes:

Keberhasilan! [disusul mantra kutukan yang tak dapat diartikan]. Wahai sekalian dewata yang berkuasa, yang sedang berkumpul dan yang melindungi Provinsi [kadatuan] Sriwijaya [ini]; juga kau tandrun luah [penguasa air] dan semua dewata yang mengawali permulaan setiap mantra kutukan! Bilamana di pedalaman semua daerah [bhumi] [yang berada di bawah provinsi [kadatuan] ini] akan ada orang yang memberontak […] yang bersekongkol dengan para pemberontak, yang berbicara dengan pemberontak, yang mendengarkan kata pemberontak, yang mengenal pemberontak, yang tidak berperilaku hormat, yang tidak takluk, yang tidak setia pada saya dan pada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu, biar orang-orang yang menjadi pelaku perbuatan-perbuatan tersebut mati kena kutuk; biar sebuah ekspedisi [untuk melawannya] seketika dikirim di bawah pimpinan datu [atau beberapa datu] Sriwijaya, dan biar mereka dihukum bersama marga dan keluarganya. Lagi pula biar semua perbuatannya yang jahat; [seperti] mengganggu :ketenteraman jiwa orang, membuat orang sakit, membuat orang gila, menggunakan mantra, racun, memakai racun upas dan tuba, ganja….

Tahun Saka 608, hari pertama paruh terang bulan Waisakha (28 Pebruari 686 Masehi), pada saat itulah kutukan ini diucapkan; kemudian dipahatkan oleh pemahatannya, berlangsung ketika bala tentara Sriwijaya baru berangkat untuk menyerang Jawa yang tidak takluk kepada Sriwijaya. Prasasti Kota Kapur isinya juga memuat kutukan-kutukan bagi mereka yang tidak taat kepada raja Sriwijaya.

Prasasti Palas Pasemah

Prasasti ini ditemukan di tepi Way Pisang, Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 1957. Sampai sekarang, prasasti ini masih terletak di daerah ini (in situ). Prasasti berbentuk setengah bulat-lonjong ini berhuruf Pallawa dan berbahasa Jawa Kuno, tidak memuat angka tahun. Berdasarkan palaeografi (ilmu tentang tulisan kuno), prasasti ini diduga berasal dari sekitar abad ke-7 Masehi. Prasasti Palas Pasemah terdiri dari 13 baris hampir sama dengan Prasasti Karang Brahi dan Kota Kapur, memuat kutukan bagi mereka yang tidak taat kepada raja Sriwijaya.

Teks Prasasti Palas Pasemah

(1) siddha kita? hamwan wari awai. kandra kayet. ni pai hu [mpa an] (2) namuha ulu lawan tandrun luah maka matai tandrun luah wi [nunu paihumpa] (3) an ha?kairu muah. kayet nihumpa unai tunai. umente? [bhakti ni ulun] (4) haraki unai tunai. kita sawanakta dewata maharddhika san nidhana ma?ra [ksa ya? kadatuan] (5) di sriwijaya. kita tuwi tandrun luah wanakta dewata mula ya? parssumpaha [n parawis. kada] (6) ci ura? di dala?na bhumi ajnan kadatuanku ini parawis. drohaka wanu [n. samawuddhi la] (7) wan drohaka. manujari drohaka. niujari drohaka. tahu din drohaka [. tida ya marpadah] (8) tida ya bhakti tatwa arjjawa di yaku dnan di ya? nigalar kku sanyasa datua niwunuh ya su [mpah ni]….

Terjemahan oleh Boechari:

(1-4). ….Wahai sekalian dewa, yang maha kuat, yang melindungi (kerajaan) (5) Sriwijaya, wahai, para jin air dan semua dewa pemula rafal kutukan (jika) (6) Ada orang di seluruh kekuasan yang tunduk pada kerajaan yang memberontak, (berkomplot dengan) (7) Pemberontak, bicara dengan para pemberontak, tahu pemberontak (yang tidak menghormatiku) (8) Tidak tunduk takzim dan setia padaku dan bagi mereka yang yang dinobatkan dengan tuntutan datu, (orang-orang tersebut) akan terbunuh oleh (kutukan)….

Prasasti Boom Baru

Prasasti ini ditemukan pada bulan April 1992 oleh penggali pasir yang bernama Rizal di pinggir sungai Musi, depan Pemakaman Kawah Tekurep (pemakaman Kesultanan Palembang), Jalan Blabak, 3 Ilir, kawasan Pelabuhan Boom Baru, Palembang. Rizal adalah teman Aminta, pegawai Museum Balaputra Dewa, yang melaporkan penemuan benda bersejarah itu kepada Kepala Museum Balaputra Dewa, Syamsir Alam, sehingga prasasti itu dapat diselamatkan. Diduga situs Kawah Tekurep sebelum dijadikan pemakaman keluarga Kesultanan Palembang, merupakan situs kerajaan Sriwijaya.

Prasasti itu, waktu ditemukan kondisinya dalam keadaan pecah dua, merupakan sebongkah batu kali yang berbentuk bulat-lonjong berwarna kemerah-merahan dengan tinggi 47 cm dan lebar 32,5 cm. Berdasarkan palaeografinya, prasasti ini diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-7 Masehi, berhuruf Pallawa, dan berbahasa Melayu Kuno. Prasasti ini disimpan di Museum Negeri Balaputra Dewa, Provinsi Sumatra Selatan.

Teks Prasasti Bom Baru:

1. ….(Niuja) droha (ka)…

2. tida ya bhakti tatwa arjawa dy-aku dngan…

3. wunuh ya sumpah ni (suruh) tapik-ya…(sriwijaya)

4. ya dngan gotra santananya…

5. maka langit. urang maka sakit maka gila…

6. upuh tuwa kasihan wasikarana itye (wamadi)…

7. pulang ka yang muah yang dosanya muah…

8. kadaci yang bhakti tatwa arjawa dy-aku…

9. datua santi muah (kawuatanya) dngan gotra (santananya)

10. samrddha swastha niroga nirupadrawa subhiksa muah ya (wanuan)

11. nya parawis.

Terjemahan:

1. (Dikatakan) durhaka….

2. (apabila) ia tidak bakti dan tunduk (bertindak lemah-lembut)

kepadaku dengan…

3. dibunuh ia oleh sumpah dan di(suruh) supaya hancur oleh…(sriwijaya)

4. ya dengan sanak-keluarganya…

5. menyebabkan orang hilang (maka langit), menyebabkan orang sakit

(maka sakit) dan menyebabkan orang gila (maka gila)….

6. racun (upah) dan tuba (tuwa), mengguna-guna orang supaya jatuh

cinta (kasihan), mengguna-gunai orang supaya jatuh cinta (kasihan),

mengguna-gunai orang supaya tunduk pada kemauannya

(wasikarana), dan demikian selanjutnya (ityewamadi)…

7. kembali (pulang) ke asalnya lagi ke dosanya lagi…

8. tetapi apabila setiap kali (kadaci) ia berbakti dan tunduk kepadaku

(dy-aku : maksudnya raja Sriwijaya)

9. dan taat kepada kedudukan raja (datua) ia akan menemukan kembali

(kawuatannya: perbuatannya) kesentosaan dan keselamatan (santi)

dengan sanak keluarganya (gotra santanaya)

10. tumbuh mencapai kemenangan (samrddha), selama sejahtera (sastha),

sehat wal’afiat (niroga), bebas malapetaka (nirupadrawa), makmur

(subhiksa)

11. seluruh negeri (wanuannya pewaris).

Isi dan pesan yang dimuat dalam teks Prasasti Boom Baru sama dengan prasasti Sriwijaya lainnya, yaitu berisi kutukan kepada siapapun yang berani melawan atau melanggar peraturan kerajaan Sriwijaya, serta memuat doa keselamatan bagi mereka maupun keluarganya apabila tunduk dan patuh terhadap raja Sriwijaya.

Prasasi Karang Berahi

Prasasti yang ditemukan tahun 1904 oleh Berkhout ini tidak berangka tahun dan merupakan satu-satunya Prasasti Sriwijaya yang ditemukan di Provinsi Jambi, tepatnya di tepi Sungai Merangin.

Seperti prasasti Sriwijaya lain, prasasti berbentuk setengah bulat-lonjong ini juga berhuruf Palllawa dan berbahasa Melayu Kuno. Prasasti yang berasal dari kira-kira abad ke-7 Masehi ini, terdiri dari 16 baris, mirip dengan Prasasti Kota Kapur, tetapi tidak memuat tentang penyerangan oleh tentara Sriwijaya.

Prasasti Ligor

Di daerah Ligor di Semenanjung Tanah Melayu, ditemukan sebuah prasasti berangka tahun 775 M yang ditulis pada dua belah sisi. Tulisan pada sisi A disebut Prasasti Ligor A memuat keterangan raja Sriwijaya.. Tulisan pada sisi B disebut Prasasti Ligor B menyebut seorang raja bernama Wisnu yang bergelar Sarwarimadawimathana.. Baik Prasasti Ligor A maupun Prasasti Ligor B ditulis dalam bahasa Sanskerta. Prasasti ini menyebutkan tentang ibukota Ligor sebagai wilayah kekuasaan Sriwijaya untuk mengawasi pelayaran perdagangan di Selat Malaka.

Prasasti Nalanda

Prasati ini ditemukan di Nalanda, India bagian timur (Negara Bagian Bihar). Prasasti ini tidak berangka tahun, namun diduga berasal dari abad ke-9 Masehi dan berbahasa Sanskerta. Isinya tentang pendirian bangunan biara di Nalanda oleh raja Balaputra Dewa, raja Sriwijaya yang beragama Budha. Selain itu disebutkan juga kakek raja Balaputra Dewa yang dikenal sebagai raja Jawa yang bergelar Syailendrawamsatilaka Sri Wirawairimathana (Permata Syailendra Pembunuh Musuh-musuh yang Gagah Perwira).

Selain itu, disebutkan juga bahwa raja Nalanda yang bernama Dewapaladewa, berkenan membebaskan 5 desa dari pajak untuk membiayai para pelajar Sriwijaya yang belajar di Nalanda.

Prasasti Bungkuk (Jabung)

Prasasti ini ditemukan pada tahun 1985 di desa Bungkuk, Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Tengah. Prasasti ini tidak berangka tahun, berdasarkan palaeografi, diperkirakan prasasti ini satu zaman dengan prasasti Sriwijaya lainnya. Isi teksnya juga memuat kutukan atau sumpah dan menggunakan bahasa yang berbeda dari bahasa Melayu Kuno biasa.

Prasasti Kambang Unglen 1

Sebuah pecahan atau fragmen prasasti batu berwarna kuning keputihan, panjang 36 cm, lebar 22 cm dan tebal 9,5 cm. Ditemukan pada 22 September 1987 di Kambang Unglen, Kota Palembang (dekat Bukit Siguntang). Fragmen Prasasti batu itu dipahat dengan beberapa baris tulisan, sebuah di antaranya berukuran panjang 27 cm dan tinggi huruf 3 cm. Sayang sekali tulisan tipe Sriwijaya itu sudah aus. Tulisan yang masih dapat dibaca berbunyi … jaya siddhayatra sarwastwa (… perjalanan suci (ziarah) yang menang dan sukses bagi semua mahluk). Kalimat itu dapat dibandingkan dengan kalimat terakhir Prasasti Kedukan Bukit (682 M) yang berbunyi … Sriwijaya jaya siddayatra subhiksa ni (t) yakala (… Sriwijaya yang menang dalam perjalanan suci yang berhasil, makmur melimpah senantiasa). Prasasti ini disimpan di ruang pameran Museum Balaputra Dewa, Palembang.

Prasasti Kambang Unglen 2

Fragmen prasasti yang ditemukan di halaman sekolah SMP PGRI VII, Kambang Unglen, Ilir Barat I, Palembang, Sumatra Selatan. Fragmen ini berukuran 12 x 13 cm, dengan huruf berukuran 1,5 x 2 cm. Dari keempat baris prasasti yang masih terlihat, yang masih mungkin terbaca, hanya tiga baris saja walaupun agak sulit.

Prasasti yang terbuat dari batu berwarna merah kekuningan ini, berdasarkan bentuk-bentuk hurufnya, diperkirakan berasal dari masa Sriwijaya (abad ke-7 Masehi), berbahasa Melayu Kuno. Isi prasasti ini sendiri masih sulit untuk diketahui, dikarenakan huruf-hurufnya yang sudah tidak jelas. Prasasti Kambang Unglen 2 juga disimpan di ruang pameran Museum Balaputra Dewa, Palembang.

Secara umum, dapat dikatakan bahwa prasasti-prasasti Sriwijaya adalah prasasti kutukan, karena dari prasasti-prasasti Sriwijaya yang telah disebutkan, lima di antaranya merupakan prasasti kutukan.

Prasasti-prasasti Sriwijaya di atas, seperti Prasasti Kedukan Bukit cenderung membulat, Prasasti Talang Tuwo cenderung segi empat miring (trapesium), Prasasti Telaga Batu berbentuk tapal kuda, Prasasti Boom Baru cenderung berbentuk bulat telur (elips), serta Prasasti Palas Pasemah dan Prasasti Karang Berahi cenderung berbentuk setengah lingkaran (tapal kuda). Bentuk prasasti yang beragam tersebut, karena bongkah-bongkah batu yang dijadikan prasasti tersebut diperkirakan media batunya tidak didatangkan dari tempat lain, tetapi memang sudah tersedia di lokasinya masing-masing (nonmobile art).

Arca

Selain prasasti, artefak sumber sejarah Sriwijaya adalah arca. Arca adalah sarana yang penting bagi kehidupan keagamaan Hindu-Budha, karena merupakan salah satu media dalam pemujaan kepada dewa.

Menurut Bambang Budi Utomo, berdasarkan data inventarisasi arca logam dan batu yang ditemukan di Sumatra jumlahnya 116 buah arca, sebagian besar ditemukan di wilayah Sumatra bagian selatan, yakni sekitar 65 buah arca. Sedangkan arca yang ditemukan di Sumatra bagian tengah berjumlah 29 buah arca, ditemukan di Sumatra bagian utara berjumlah 17 buah arca, dan ditemukan di Kota Kapur, Bangka berjumlah 4 buah arca. Arca-arca ini ada yang sudah selesai dikerjakan dan ada yang belum selesai, namun pada bagian tertentu sudah mencirikan gaya seninya. Arca-arca yang berlanggam Syailendra (abad ke-8 dan ke-9 Masehi) sebagian besar ditemukan di wilayah Sumatra bagian selatan berjumlah 21 buah arca dan ditemukan di Sumatra bagian tengah berjumlah 12 buah arca. Data tersebut menunjukkan kejayaan pengaruh kejayaan seni Syailendra ketika Sriwijaya sedang mencapai puncak kejayaannya.

Arca yang ditemukan di sekitar Palembang tidak hanya meliputi arca-arca Budha saja, tetapi juga arca Hindu. Ini membuktikan bahwa meskipun Sriwijaya merupakan salah satu dari pusat studi agama Budha, tetapi tetap ada kerukunan dalam kehidupan beragama. Beberapa arca-arca Sriwijaya itu di antaranya adalah sebagai berikut:

Arca Budha, dari Bukit Siguntang, Palembang

Arca ini merupakan arca terbesar yang berasal dari masa Sriwijaya, tingginya sekitar 3 meter. Arca bersikap berdiri ini digambarkan memakai jubah transparan yang menutupi kedua bahunya. Ciri-cirinya menunjukkan gaya Amarawati, yang berkembang di India Selatan pada abad ke-2 sampai ke-5 Masehi, tetapi masih berkembang di Srilanka sampai abad ke-8 Masehi. Jadi, diperkirakan arca Budha Bukit Siguntang ini berasal dari sekitar abad ke-7 sampai ke-8 Masehi. Arca ini sekarang diletakkan di halaman Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang.

Arca Ganesha, dari Jalan Mayor Ruslan (Pagaralam), Palembang

Arca ini ditemukan di area Jalan Mayor Ruslan, Palembang. Jalan yang sebelumnya bernama Lorong Pagaralam di dekat sungai Bendungan yang bermuara ke sungai Musi.

Arca ini mempunyai hiasan-hiasan yang mirip arca Jawa Tengah, tetapi cara duduknya (kaki kanan dilipat ke atas) seperti arca-arca India Selatan. Tampaknya banyak pengaruh India Selatan pada arca Sriwijaya yang satu ini. Arca ini sekarang diletakkan di halaman.

Arca Budha, dari Tingkip, Musirawas

Arca yang ditemukan di Tingkip, Musirawas pada tahun 1980, berdiri di atas padmasana (lapik yang berbentuk bunga teratai), kedua tangan diangkat ke atas dengan sikap witarkamudra (sikap Budha mengajarkan dharma atau ajaran agama). Jubahnya yang transparan menutup kedua bahu. Tampaknya arca ini termasuk ke dalam kelompok gaya pra-Angkor yang berkembang pada sekitar abad ke-6 dan ke-7 Masehi, atau gaya Dwarawati (Thailand) yang berkembang pada sekitar abad ke-6 sampai ke-9 Masehi. Arca ini disimpan di Museum Balaputra Dewa, Palembang.

Arca Awalokiteswara, dari Bingin, Musirawas

Ditemukan di Bingin, Kabupaten Musirawas ini merupakan contoh arca Budha yang berasal dari sekitar abad ke-8 Masehi. Cirinya yang menarik adalah tampak pada arca Amithaba dan mahkotanya, kainnya ditutup dengan kulit rusa pada bagian pinggulnya. Pada bagian belakang arca terdapat inskripsi yang berbunyi dang acaryya syuta (gelar pendeta Budha).

Arca Wisnu, dari Kota Kapur, Bangka

Di Kota Kapur, Bangka, ditemukan struktur bangunan dari batu putih. Di antara runtuhan fondasi candi terdapat fragmen beberapa arca Wisnu. Diperkirakan fragmen tersebut berasal dari setidak-tidaknya 3 buah arca Wisnu. Diduga arca-arca ini berasal dari sekitar abad ke-6 sampai ke-7 Masehi.

Semua arca Wisnu ini mempunyai ciri yang sama, yaitu bentuk mahkota seperti silinder, seperti pada arca Wisnu di Khmer dari masa pra-Angkor. Hiasannya sederhana, kain panjangnya sampai di bawah lutut, berhias pola garis lengkung, bertangan empat, hanya sayang sudah patah. Pada beberapa fragmen tangan tampak ada yang memegang padma (bunga teratai). Di belakang kepala ada sandaran melengkung yang sudah patah, rambut ikal terurai tampak menutup leher belakang, di atas bahu. Semua temuan arca Kota Kapur disimpan di Balai Arkeologi Palembang.

Arca Awalokiteswara, dari Sarang Waty, Lemahabang (Lemabang), Palembang

Arca ini ditemukan tahun 1959 tepatnya di halaman belakang rumah yang bertuliskan Sarang Waty (Rumah Waty) milik Basaruddin Itjo yang terletak di pertemuan Jalan Bambang Utoyo No. 1A dengan Jalan Pendawa, Lemabang, Palembang. Saat ini (2008), arca yang pernah dicuri sampai ke Jambi tapi telah dikembalikan lagi, telah dipindahkan dari halaman belakang rumah ke samping rumah itu (in situ).

Bersama-sama dengan arca ini juga ditemukan ratusan stupika tanah liat yang berwarna putih. Tampaknya arca ini belum selesai dibuat, karena belum memakai perhiasan, hanya pada mahkotanya terdapat arca amithaba. Arca ini diduga berasal dari sekitar abad ke-8 dan ke-9 Masehi.

Arca Perunggu Maitreya, Budha, dan Awalokiteswara dari Komering

Ketiga arca ini ditemukan di Sungai Komering. Berasal dari sekitar abad ke-9 Masehi. Ketiga arca menunjukkan gaya seni Jawa Tengah. Arca ini disimpan di Museum Nasional, Jakarta.

Arca Siwa Mahadewa, Perunggu, dari Palembang

Arca ini ditemukan di Palembang. Pahatannya menunjukkan gaya seni Jawa Tengah pada abad ke-8 sampai ke-9 Masehi. Arca ini masih lengkap, memiliki 4 tangan, kedua tangan belakang memegang sebuah tasbih dan camara (alat untuk menghalau lalat), sedangkan tangan kanan depan dalam sikap witarka mudra, tangan kiri depan memegang sebuah kendi.

Arca memakai upawita (selempang yang melintang dari bahu kiri ke kanan) ular, gelang bahu, gelang tangan, sebuah kalung, dan hiasan telinga. Pada mahkotanya terdapat tengkorak dan bulan sabit (di sisi kiri) dan kainnya berhias lipitan-lipitan halus. Sehelai kain harimau menutupinya hingga ke atas pinggangnya. Arca ini disimpan di Museum Nasional, Jakarta.

Arca Siwa Mahadewa, dari Tanah Abang, Muaraenim

Arca yang sudah pecah pada bagian kepala dan sandaran atas ini mungkin menggambarkan Siwa Mahadewa. Badan arca ini sama dengan semua arca dari Candi I Tanah Abang, yaitu dari batu putih (batu kapur).

Arca ini digambarkan duduk bersila di atas padmasana, bertangan 4, tangan kanan belakangnya memegang pisau bertangan panjang, tangan kiri belakang memegang tasbih. Semua arca Candi I Tanah Abang, memakai perhiasan berupa jamang, hiasan telinga, kalung, gelang lengan, gelang, dan gelang kaki. Gaya pahatan dan cirinya menunjukkan masa Jawa Timur awal sekitar abad ke-12 Masehi.

Arca Siwa Mahaguru, dari Muaraenim

Temuan dari Candi I Tanah Abang yang lain adalah arca Siwa Mahayana yang mukanya sudah aus dan sandaran bagian kanan telah hilang. Tapi masih lengkap bagian badannya. Bertangan dua, tangan kanan memegang tasbih, tangan kiri memegang kendi (komandalu). Kainnya polos, transparan, panjangnya sampai betis, sampurnya memakai simpul pita yang indah.

Arca berdiri di atas padmasana yang permukaannya dihias dengan pola biji teratai. Perhiasannya seperti arca yang lain, terdiri dari jamang, hiasan telinga, kalung, gelang lengan, gelang, dan gelang kaki. Memakai selempang dada dan uncal yang panjangnya sampai lutut.

Arca Leluhur I, dari Muaraenim

Arca laki-laki ini digolongkan ke dalam kelompok arca leluhur atau arca yang merupakan perwujudan seseorang, jadi bukan menggambarkan dewa. Ini didasarkan atas tidak adanya atribut tertentu yang dapat menjadikan penentu sebagai arca dewa.

Arca ini digambarkan duduk bersila di atas padmasana, bertangan dua, kedua tangan terletak di atas pangkuan, di telapak tangannya terdapat bunga padma mekar. Rambut ikal di kedua bahunya memperkuat dugaan arca ini mempunyai gaya Jawa Timur. Di sekeliling tepi sandaran terdapat hiasan lidah api.

Arca Leluhur II, dari Muaraenim

Seperti juga arca Leluhur I, arca Leluhur II tidak mempunyai atribut tertentu yang menunjukkan identitas kedewaannya. Arca ini duduk bersila di atas lapik polos, kedua tangannya di atas pangkuan, di telapak tangannya terdapat benda bundar, mungkin menggambarkan bunga mekar. Berbeda dengan arca Leluhur I, arca ini digambarkan berbadan gemuk, terutama pada bagian perut, seperti pada perut Agastya atau Ganesha. Arca ini juga termasuk arca dengan gaya Jawa Timur.

Arca Nandi, dari Muaraenim

Selain 4 arca tokoh dewa dan leluhur, di Candi I Tanah Abang juga ditemukan arca nandi, yaitu wahana (hewan sapi tunggangan dewa Siwa). Arca nandi ini digambarkan duduk dengan kedua kaki depan dilipat ke belakang, memakai kalung dengan bandul genta-genta kecil dan hiasan untaian manik-manik mengikat moncongnya. Gaya seninya mirip dengan gaya seni kerajaan Singasari dari abad ke-13 Masehi.

Stambha, dari Palembang

Artefak ini disebut stambha, sejenis tiang, karena bentuknya mirip demikian, hanya terdiri dari beberapa mahluk, yang saling menunggangi. Yang paling bawah adalah gajah, kemudian raksasa atau ghana, dan paling atas singa.

Berbeda dengan arca-arca yang lain yang dibuat dari batu kapur, stambha ini dibuat dari andesit. Pola gajah dan singa ini merupakan pola yang populer, terutama di daerah India Timur pada abad ke-10 sampai ke-12 Masehi. Semua arca dari Candi I Tanah Abang masih in situ.

Selain artefak dalam bentuk arca-arca, artefak Sriwijaya lain, ditemukan dalam bentuk keramik, porselin, dan manik-manik yang juga banyak ditemukan di daerah Palembang.

  • SELANJUTNYA Lokasi Kerajaan Sriwijaya
  • Entri Populer

    CATATAN,ILMU,SEJARAH ARSITEKTUR