satu

Arch Efan
Architecture & Design
Adsense Indonesia

3

SIAP MEMBANTU JASA ARSITEKTUR-LANDSEKAP-INTERIOR-3D DESAIN-ESTIMASI

4

Sabtu, 23 April 2011

ARSITEKTUR DEKONSTRUKSI INDONESIA

“Founder Factory 3”
karya Coop Himmelblau, Corinthian, Austria, 1988-1989
Power Station dengan “Dancing Stacks” yang ditata menjadi
Ruang bagi pabrik coating kertas dan saling dihubungkan dengan “Media Bridge”.

Dengan atau tanpa label, gejala yang di sebut “DEKON” secara nyata telah dirasakan kehadirannya dalam bidang arsitektur. Namun adalah tugas para teorikus dan kritikus arsitektur untuk meneliti lebih mendalam gejala tersebut, mengidentifikasikan karakteristiknya, mengemas dan membubuhinya dengan label yang dianggap paling tepat, serta mendaurkannya dalam wacana arsitektural.

Sejak tahun 1988, gejala ‘Dekon’ dalam arsitektur telah menjadi tajuk perdebatan yang hangat. Usaha untuk mencari kejelasan tentang gejala tersebut telah ditempuh melalui berbagai cara : symposium, pameran, essay, buku, wawancara dan lainnya. Kontroversial yang paling seru terutama menyangkut label yang dibubuhkan pada gejala tersebut. Manakah yang tepat : ‘Dekonstruksi’ atau ‘Dekonstruktivisme’ ?

Masing-masing label tersebut mengacu pada asumsi, sudut pandang, interpretasi dan implikasi yang berbeda.

Label ‘Dekonstruksi’ secara luas digunakan dalam lingkungan intellectual di Perancis dan Inggris, berlandaskan pada asumsi bahwa gejala ‘Dekon’ secara langsung berkaitan dengan filsafat kritis Jacques Derrida. Label tersebut secara resmi dikukuhkan dalam “ International Symposium on Deconstruction ” yang diselenggarakan oleh Academy Group di Tate Gallery, London tanggal 8 April 988, dimana kehadiran Derrida diwakili oleh rekaman video wawancaranya.

Dari simposium tersebut diperoleh kesepakatan bahwa “Dekonstruksi” bukanlah gerakan yang tunggal atau koheren, meski banyak diwarnai oleh kemiripan-kemiripan formal di antara karya arsitek yang satu dengan yang lainnya. Dekonstruksi lebih merupakan suatu sikap, suatu methode kritik yang berwajah majemuk. Dekonstruksi tidak memiliki ideology ataupun tujuan formal, kecuali semangat untuk membongkar

kemapanan dan kebakuan. Gejala dekonstruksi hanya bisa dipahami melalui penelusuran intensive philosophy tersebut, bukan dari antecedent formalnya. Seperti diungkapkan oleh Derrida dalam rekaman interview nya :

“ …… there is no monologue possible in Deconstruction …. There is no single author of any Deconstruction. It’s always a multiplicity of voices/gestures. And you can take this as a rule : each time Deconstruction speaks through a single voice, it’s wrong, it’s not Deconstruction any more.”

Label “Dekonstruktivisme” yang lebih berkonotasi pragmatics dan formal terutama di gunakan di Amerika Serikat, dicetuskan oleh Philip Johnson dan Mark Wigley melalui sebuah pameran bertema “Deconstructivist Architecture” yang diselenggarakan di Museum of Art, New York, tanggal 23 Juni – 30 Agustus 1988. Melalui label tersebut terungkap penyangkalan terhadap adanya keterkaitan antara gejala “Dekon” yang diwakili oleh karya tujuh tokoh arsitek yang di tampilkan dalam pameran dengan Jacques Derrida.

Argumentasinya adalah bahwa gejala “Dekon” diilhami oleh gerakan garda depan “Konstruktivisme Rusia” yang berkembang pada tahun 1920 – 1932, dengan tokoh-tokohnya antara lain Chernikhov, Leonidov, Rodchenko, Burov, Tatkin, Malevich. Lebih jauh ditekankan bahwa pada dasarnya ‘Arsitektur Dekonstruktivisme’ bukanlah gaya, prinsip atau gerakan baru, tetapi lebih merupakan kebangkitan kembali dan transformasi lanjut dari gerakan “Konstruktivisme Rusia”.

Dalam pameran tersebut Johnson dan Wigley mencoba menunjukkan kemiripan di antara karya – karya konstruktivis Rusia yang mencoba mematahkan aturan dan tradisi arsitektur modern yang serba tertib dan beraturan (perfection). Wigley menjelaskan bahwa arsitektur adalah disiplin konservatif yang terobsesi oleh mimpi tentang bentuk-bentuk murni. Dekonstruksi, berlandas pada semangat konstruktivisme Rusia, mencoba mengoyak mimpi indah tersebut melalui penampilan bidang-bidang yang simpang siur

dan garis-garis yang centang merentang sehingga keseluruhan struktur seolah-olah segera akan runtuh. Prisip estetika subversive ini secara sengaja diungkapkan memalui kutipan yang panjang di pintu masuk pameran :

“Pure form has indeed been contaminated, transforming architecture into an agent of instability, disharmony and conflict “.

Banyak kritik dilontarkan terhadap usaha Johnson dan Wigley dalam membeberkan paralelisme antara “Arsitektur Dekonstruktivisme” dengan Konstruksionisme Rusia”, karena mereka semata-mata hanya mendasarkan pada kemiripan bentuk dan estetika, sama sekali mengabaikan konteks sosial politik dan ideologi di mana ke dua gejala tersebut tumbuh. Kredibilitas kategori “Deconstructivist Architecture” yang diusulkan oleh Johnson dan Wigley juga patut diragukan, karena beberapa tokoh yang karyanya ditampilkan dalam pameran tersebut merasa keberatan untuk digolongkan ke dalam kategori arsitek Dekonstruktivisme.

Charles Jencks cukup bijaksana untuk menggunakan istilah Neo-Constructivism” dalam membahas karya-karya yang oleh Johnson dan Wigley di sebut “Deconstructivist Architecture.

Geoffrey Broadbent mencoba menengahi kontroversi sekitar label “Dekonstruksi” dan “Dekonstruktivisme” dengan mengambil posisi yang netral meski kemudian ia lebih memilih “dekonstruksi” sebagai terminology yang lebih tepat digunakan. Menurut pengamatannya tokok-tokok Dekonstruksi telah membentuk kelompok yang cukup koheren, namun tidak semuanya memiliki kaitan dengan filsafat Jacques Derrida ataupun Konstruktivisme Rusia. Arsitektur dekonstruksi bisa lahir dari pengaruh filsafat Derrida, karena itu tepat untuk disebut “Dekonstruksi Derridean”, tetapi juga bisa lahir sekedar sebagai produk pragmatis dan formal, sehingga tepat disebut “Dekonstruksi Non-Derridean”.

Yang Ingin Melanjutkan membacanya download di Sini Gratis


Entri Populer

CATATAN,ILMU,SEJARAH ARSITEKTUR