Hubungan negeri Cina dengan negeri-negeri di wilayah Asia Tenggara telah terjalin sejak lama. Para musafir Cina yang berziarah ke India dengan menggunakan jalan laut tentu akan melewati negeri-negeri di Asia Tenggara. Selain itu, kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara senantiasa mengirimkan utusan-utusannya ke negeri Cina sebagai tanda persahabatan atau adanya hubungan dengan kaisar Cina. Tidak mengherankan, jika dalam kronik-kronik Cina banyak tercantum nama-nama negeri di Asia Tenggara. Jatuhnya kerajaan Funan yang terletak di sepanjang sungai Mekong dan Phnom Penh (Kamboja), sebagai salah satu kekuatan besar di Asia Tenggara, membuka bangkitnya kerajaam maritim di ujung barat Nusantara, sebagai kekuatan baru di Asia Tenggara, yaitu kerajaan Sriwijaya.
Nama negeri-negeri di Asia Tenggara tersebut, biasanya ditulis dalam bahasa Cina yang memiliki kecenderungan berbeda jauh dengan nama aslinya. Oleh karena itu, para pakar peneliti sejarah Sriwijaya sepakat terhadap nama suatu kerajaan atau suatu tempat yang terdapat dalam catatan-catatan Cina perlu diidentifikasi atau ditransliterasikan secara cermat, kemudian baru diperkirakan lokasinya, seperti istilah Shih-li-fo-shi dan San-fo-tsi. Para pakar sejarah Sriwijaya juga sudah menyepakati, baik Shih-li-fo-shi maupun San-fo-tsi merupakan sebutan bangsa Cina terhadap kerajaan Sriwijaya yang terletak di kawasan Asia Tenggara, seperti dalam laporan atau berita perjalanan mereka.
Identifikasi lokasi kerajaan Sriwijaya yang paling lengkap diceritakan melalui catatan kisah perjalanan (pelayaran) pendeta Cina yang bernama I-tsing, dari Kanton (Cina) ke India, ia sempat singgah di negeri Sriwijaya. Setelah kembali dari India, ia menetap bertahun-tahun di Sriwijaya. Pada tahun 689 M, I-tsing sempat pulang ke Kanton lalu kembali ke Sriwijaya. Selama tinggal di Sriwijaya, antara tahun 689 M sampai tahun 692 M, ia menghasilkan dua buah buku, yaitu Nan-hai Chi-kuei Nei-fa dan Ta-tang Hsy-yu Chiu-fa Kao-seng chuan. Tiga tahun kemudian (695 M), barulah I-tsing benar-benar pulang ke Kanton atau tidak kembali lagi ke Sriwijaya.
Dalam dua buku tersebut, I-tsing menceritakan letak dan keadaan Sriwijaya. Catatan pelayarannya dari Kanton ke Sriwijaya tahun 671 M, I-tsing menggambarkan letak kerajaan Sriwijaya sebagai berikut:
“Ketika angin timur laut mulai bertiup, kami berlayar meninggalkan Kanton menuju selatan…. setelah kurang dua puluh hari berlayar, kami sampai di negeri Shi-li-fo-shih. Di sini saya berdiam selama 6 bulan untuk belajar sabdawidya (tata bahasa Sanskerta). Sribaginda (Sriwijaya) sangat baik kepada saya (I-tsing). Beliau menolong mengirimkan saya ke negeri Mo-lo-yu (Melayu), tempat saya singgah selama dua bulan. Kemudian saya kembali meneruskan pelayaran menuju Chieh-cha (Kedah)…. berlayar dari (Kedah) menuju utara selama lebih dari sepuluh hari, kami sampai di kepulauaan “orang telanjang” (Nikobar)…. dari sini berlayar ke arah barat selama setengah bulan, lalu kami sampai di Tan-mo-li-ti (Tamralipti, pantai timur India).”
Dari tulisan atau berita I-tsing di atas, dapat diketahui bahwa pelayarannya dari Sriwijaya ke Kedah, ia sempat singgah di negeri Melayu. Artinya, negeri Melayu terletak di tengah jalur pelayaran antara Sriwijaya dengan Kedah. Ketika I-tsing pulang dari India tahun 685 M, ia berlayar dari Tamralipti (India) menuju Kedah.
Nama Mo-lo-yu (Melayu) muncul untuk pertamakalinya ketika mengirimkan cinderamata negeri Melayu kepada kaisar Cina pada tahun 644 M. Negeri Melayu itu terletak di Provinsi Jambi sekarang ini. Ketika I-tsing pertama kalinya berkunjung ke Sriwijaya, ia pergi juga ke negeri Melayu dengan naik kapal. I-tsing menuliskan, pelayarannya dari Sriwijaya ke Melayu memakan waktu 15 hari.
Rute pelayaran dari Tamralipti (India) ke Sriwijaya tersebut, I-tsing menuliskan, nama-nama negeri di Asia Tenggara yang diuraikan secara berurut dari barat ke timur, nama Sriwijaya ditulis sesudah nama Melayu. Artinya, kerajaan Sriwijaya terletak di sebelah timur atau tenggara kerajaan Melayu atau Jambi sekarang. Berikut petikan catatan perjalanan I-tsing ketika pulang dari India tahun 685 M.
“Tamralipti adalah (pelabuhan) kami naik kapal jika kembali ke Cina. Berlayar dari sini menuju tenggara dalam waktu dua bulan kami di Kedah. Tempat ini kini menjadi kepulauan Sriwijaya. Saat kapal tiba adalah bulan purnama atau kedua. Kami tinggal di Kedah sampai musim dingin, lalu naik kapal ke arah selatan. Setelah kira-kira sebulan lamanya kami sampai di negeri Melayu, yang kini menjadi bagian Sriwijaya. Kapal-kapal umumnya juga tiba pada bulan pertama atau kedua. Kapal-kapal itu senantiasa tinggal di negeri Melayu sampai pertengahan musim panas, lalu mereka berlayar ke arah utara, dan mencapai Kanton dalam waktu sebulan.”
Ketika I-tsing pulang ke Kanton, ia berangkat dengan menumpang kapal yang sedang berlabuh di sungai yang terdapat di kerajaan Sriwijaya Hal ini berarti bahwa sungai di Sriwijaya yang dimaksud I-tsing itu cukup lebar sehingga dapat dilalui dan dimasukki kapal-kapal.
Nia Kurnia Sholihat Irfan mengatakan, di sebelah timur atau tenggara Jambi yang mempunyai sungai lebar, satu-satunya tempat yang memenuhi syarat adalah Palembang dengan sungai Musinya. Jadi, waktu itu, diperkirakan pusat Sriwijaya terletak di tepi sungai Musi Palembang sekarang. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian geomorfologi yang membuktikan Palembang pada abad ke-7 Masehi masih terletak di tepi laut.
Catatan I-tsing yang mengatakan, “Orang yang berdiri pada tengah hari di Sriwijaya tidak mempunyai bayang-bayang”. Menurut Nia, tidak berarti bahwa lokasi Sriwijaya harus dicari tepat pada garis khatulistiwa (lintang nol derajat), melainkan dapat ditafsirkan bahwa Sriwijaya terletak di sekitar khatulistiwa. Palembang pun memenuhi syarat sebagai lokasi Sriwijaya, karena terletak pada posisi tiga derajat Lintang Selatan. Jadi masih dekat dengan khatulistiwa. Perlu diingat bahwa I-tsing biasa hidup di negerinya (Cina), bayang-bayang pada tengah hari cukup panjang. Dapat dipahami jika I-tsing mengatakan di Sriwijaya (maksudnya Palembang) tidak ada bayang-bayang pada tengah hari.
Ditinjau dari data-data arkeologi, pendapat lokasi Sriwijaya di Palembang memperoleh bukti atau fakta yang kuat. Sebagian besar prasasti ditemukan di Palembang seperti Prasasti Kedukan Bukit, Prasasti Talang Tuwo, Prasasti Telaga Batu, Prasasti Boom Baru, dan beberapa pecahan (fragmen) batu prasasti, serta batu-batu yang menceritakan siddhayatra (perjalanan suci). Pada salah satu pecahan prasasti yang ditemukan di Palembang terdapat keterangan mengenai perdatuan (wilayah inti raja). Prasasti Telaga Batu misalnya, menyebutkan berbagai nama pembesar tinggi kerajaan, baik sipil maupun militer, yang hanya mungkin terdapat di ibukota atau pusat pemerintahan suatu negara, seperti putra mahkota, selir raja, para menteri, hakim, senapati (pejabat militer), sampai kepala pembersih istana, dan pelayan istana. Juga di Palembang banyak ditemukan arca Budha yang kini tersimpan di Museum Negeri Balaputra Dewa Provinsi Sumatra Selatan maupun yang tersimpan di Museum Nasional, Jakarta.
Pendapat Sekitar Pusat Kerajaan
Di manakah istana atau pusat pemerintahan kerajaan Sriwijaya? Pertanyaan ini terus menghantui setiap kajian tentang Sriwijaya. Masalahnya Sriwijaya tidak ditemukannya istana yang fisiknya masih bisa dilihat hingga sekarang. Idealnya, istana suatu kerajaan menjadi rujukan penting untuk menentukan pusat pemerintahan dari kerajaan yang telah tiada.
Banyak teori dan pendapat yang muncul mengenai lokasi pusat pemerintahan kerajaan Sriwijaya, tentu saja dengan segala kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Para peneliti dan pakar sejarah baik dari Indonesia maupun asing masing-masing berargumen untuk menetapkan lokasi pusat pemerintahan Sriwijaya. Yang jelas apapun alasannya, keberadaan kerajaan Sriwijaya telah terbukti dan hampir tidak dipersoalkan lagi. Ia telah menjadi bagian penting yang mewarnai gerak sejarah Indonesia. Hanya, mengenai penetapan ibukota atau pusat pemerintahannya yang hingga kini masih menjadi polemik di antara para pakar sejarah. Mereka mengeluarkan berbagai pendapat tentang ibukota Sriwijaya.
Pemikiran kritis mengenai lokasi pusat pemerintahan Sriwijaya, pertamakali digagas oleh Samuel Beal tahun 1886. Beal berkesimpulan bahwa Sriwijaya berpusat di daerah yang dinamakan Pa-lin-fong (saat ini Palembang). Istilah Pa-lin-fong diperkirakan mulai muncul tahun 1225 berdasarkan kronik Chu-fan-chi. Pendapat Beal didukung oleh:
Coedes yang juga mengatakan Sriwijaya di Palembang.
Ahli arkeologi R.C. Majumdar, dalam tulisannya Le Roia Syailendra de Suvarnadvipa tahun 1933, berpendapat bahwa Sriwijaya hendaknya dicari di pulau Jawa. Dan setelah pusat aktivitas Sriwijaya pindah, baru dicari di daerah Ligor, Muangthai Selatan. Sementara itu H.G. Quartich Wales, dalam tulisannya A Newly Explored Route of Ancient Indian Cultural Expansion tahun 1935, memperkirakan ibukota Sriwijaya pada awalnya ada di Chaiya, Provinsi Surat Thani, Mungthai Selatan. Selain Chaiya, Wales menunjuk Ligor sebagai pusat kegiatan Kerajaan Sriwijaya. Akan tetapi berdasarkan kajian yang dilakukan Wales kemudian, ia menetapkan lokasi Sriwijaya di daerah Perak, Semenanjung Malaysia sekarang ini.
Lain lagi pendapat J.L. Moens, dalam tulisannya Çrivijaya. Java en Kataha tahun 1973, semula ia menetapkan Kelantan (Malaysia) sebagai ibukota Sriwijaya, kemudian pindah ke daerah Muara Takus di pedalaman Sumatra bagian tengah. Pendapat yang dikemukakan Moens inipun didasari oleh penelitian yang dilakukan sebelumnya. Sedangkan arkeolog senior Indonesia, Soekmono, dalam tulisannya Early Civilization of South-east Asia tahun 1958, melihat kemungkinan kota Jambi sekarang sebagai pusat kegiatan Sriwijaya. Alasannya, kota Jambi bila dibandingkan dengan kawasan Palembang (dahulu) merupakan daerah yang sangat strategis. Sebab Jambi memiliki unsur-unsur yang lebih menguntungkan untuk menjadi pusat kegiatan kerajaan maritim Sriwijaya. Dari dasar inilah Soekmono berpendapat Sriwijaya mampu dan memegang hegemoni maritim yang besar.
Menurut Purbacaraka, pusat pemerintahan Sriwijaya berawal dari sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri di desa Minangkabau, Sumatra Barat. Sedangkan Muhammad Yamin cenderung mengatakan pusat pemerintahan Sriwijaya berada di Palembang.
Kesimpulan Nia Kurnia Sholihat Irfan, dalam bukunya Sejarah Sriwijaya yang terbit tahun 1983, senada dengan pendapat Beal, Coedes, dan Muhammad Yamin. Nia mengatakan bahwa pusat pemerintahan Sriwijaya di Palembang, sedangkan Arlan Ismail berpendapat bahwa pusat pemerintahan Sriwijaya berawal di Komering Ulu, Sumatra Selatan sebelum eksodus ke Palembang.
Boechari, ahli epigrafi senior Indonesia, melakukan pembuktian lewat Prasasti Kedukan Bukit. Hasil analisisnya terhadap Prasasti Kedukan Bukit, dikatakan bahwa pada mulanya pusat kerajaan Sriwijaya berada di timur Bangkinang, di tepi sungai Kampar, Riau. Ini sesuai dengan berita I-tsing yang menunjukkan daerah sekitar khatulistiwa sebagai letak pusat kerajaan Sriwijaya. Dan di hulu Bangkinang, terdapat suatu kompleks percandian agama Budha, yaitu Candi Muara Takus di Provinsi Jambi.
Dari sanalah 20 ribu pasukan Dapunta Hyang, bergerak lewat laut dan 1.312 rombongan lainnya melalui jalan darat. Di Mukha Upang, mereka bergabung menuju Melimbang (Palembang). Tepat tanggal 5 suklapaksa bulan Asdha tahun 604 Saka (16 Juni 682 M). Dapunta Hyang bersama pasukannya mendarat dan mendirikan kerajaan Sriwijaya. Diperkirakan tanggal 16 Juni 682 M merupakan peletakan batu pertama suatu bangunan kota, rumah para pejabat kerajaan, dan peribadatan.
Mukha Upang tersebut diperkirakan terletak di daerah Air Sugian sekarang (Lampung), sebagai lokasi pendaratan Dapunta Hyang, karena di daerah tersebut pada tahun 1988 telah ditemukan suatu situs Air Sugian yang banyak ditemukan manik-manik kaca, keramik Cina dan memiliki bentuk peradaban yang sudah maju. Setelah ada berita mengenai tentaranya yang melalui darat, barulah melanjutkan ke tempat yang dituju, yaitu Palembang. Oleh karena itu, hanya Palembang yang paling meyakinkan sebagai pusat kerajaan Sriwijaya.
Dalam Prasasti Telaga Batu, menyebutkan berbagai nama pembesar tinggi kerajaan baik sipil maupun militer, yang hanya mungkin terdapat di ibukota atau pusat pemerintahan suatu negara, termasuk putra mahkota, selir raja, senapati, hakim, para menteri sampai kepada pelayan istana. Jadi tidak diragukan lagi bahwa pusat kerajaan Sriwijaya berada di Palembang.
Menurut hasil penelitian Balai Arkeologi Palembang, jauh sebelum Sriwijaya ditemukan kembali sebagai nama sebuah kerajaan, di kalangan masyarakat Palembang dan Sumatra Selatan umumnya telah beredar mitos mengenai kebesaran Sriwijaya. Sebelum dibuktikan lokasi pusat Sriwijaya di Palembang, masyarakat sudah yakin lokasi pusat kerajaan ini berada di Palembang.
Bukti tertulis mengenai keberadaan Sriwijaya adalah prasasti-prasasti batu yang ditemukan di Palembang. Di antara prasasti yang ditemukan di Palembang adalah Prasasti Kedukan Bukit, Prasasti Telaga Batu, Prasasti Talang Tuwo, dan Prasasti Boom Baru. Prasasti Kedukan Bukit yang bertanggal 16 Juni 682 Masehi berisi tentang pembangunan wanua (tempat tinggal) yang bernama Sriwijaya oleh Dapunta Hyang; Prasasti Telaga Batu (tidak berangka tahun) merupakan prasasti persumpahan yang juga menyebutkan nama-nama pejabat kerajaan mulai dari putra mahkota, pejabat tinggi kerajaan, sampai ke tukang cuci kerajaan; Prasasti Talang Tuwo bertanggal 23 Maret 684 Masehi berisi tentang pembangunan Taman Sriksetra oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk semua mahluk; dan Prasasti Boom Baru juga merupakan prasasti persumpahan raja Sriwijaya. Dari keempat prasasti ini sudah cukup kuat untuk menempatkan pusat Sriwijaya di Palembang saat ini. Prasasti Telaga Batu merupakan bukti kuat karena prasasti persumpahan ini menyebut nama-nama pejabat yang disumpah sewajarnya ditempatkan di ibukota dan ibukota tersebut tempat tinggal para pejabat tersebut.
Bukti prasasti cukup menyakinkan Palembang merupakan pusat awal kerajaan Sriwijaya. Namun bukti tersebut perlu bukti arkelogis lain yang dapat mendukung dan menguatkan teori tersebut. Sebuah kota merupakan kumpulan dan tempat tinggal penduduk kota itu. Indikator kuat dari sebuah sisa pemukiman adalah barang-barang keramik dan tembikar karena barang-barang tersebut bisa dipakai untuk keperluan sehari-hari. Di Palembang indikator pemukiman kuno yang berupa pecahan (fragmen) keramik banyak ditemukan di situs Talang Kikim, Tanjung Rawa, Bukit Siguntang, Kambang Unglen, Ladangsirap, Karanganyar, Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, dan Gedingsuro. Pecahan-pecahan keramik yang ditemukan di tempat-tempat tersebut sebagian besar berasal dari masa Dinasti T-ang (abad ke-8 sampai ke-10 Masehi), kemudian menyusul Dinasti Song (abad ke-10 sampai 13 Masehi) dan Dinasti Yuan (abad ke-12 sampai ke-14 Masehi) dari negeri Cina. Khusus untuk situs Talang Kikim, temuan keramik di rawa-rawa demikan padat. Ini mengindikasikan pemukiman pada masa lampau mengambil tempat di rawa-rawa berupa rumah tinggal yang didirikan di atas air.
Kota Sriwijaya jelas dilengkapi pula dengan bangunan-bangunan keagamaan. Indikator adanya bangunan keagamaaan ditemukan di situs-situs daerah yang letaknya tinggi, yaitu situs Bukit Siguntang, Candi Angsoka, Pagaralam (Jalan Mayor Ruslan), Lemahabang (Sarang Waty), dan Gedingsuro. Dari situs-situs tersebut ditemukan arca-arca dari batu dan logam, stupika tanah liat, dan runtuhan bangunan bata.
Sebagai sebuah kota yang pernah menjadi pusat agama Budha Mahayana, tentu berdiam para pendeta dan wihara-wihara. Situs yang diduga merupakan artefak wihara ditemukan di Lemahabang (Sarangwaty) dan Gedingsuro (pada bukit kecil di sebelah utara kompleks percandian). Stupika-stupika tanah liat dan arca-arca logam yang berukuran kecil (8-15 cm) tersebut, merupakan indikator bahwa stupika dan arca tersebut biasanya ditempatkan di Wihara.
Daerah sebelah barat kota Palembang merupakan daerah penting untuk kajian kota Sriwijaya, karena di daerah ini cukup banyak artefak budaya masa Sriwijaya. Di mulai situs Bukit Siguntang yang merupakan situs keagamaan. Di tempat ini ditemukan sebuah arca Budha yang tingginya hampir 4 meter dan runtuhan bangunan bata yang diduga merupakan sisa bangunan stupa. Agak jauh ke arah utara dari Bukit Siguntang terdapat situs Talang Kikim dan Tanjung Rawah yang merupakan sisa pemukinan kuno; di sebelah selatan Bukit Siguntang terdapat situs Karanganyar, Kedukan Bukit, Ladangsirap, Kambang Purun, dan Kambang Unglen juga merupakan situs pemukiman.
Situs Karanganyar merupakan bangunan dengan tiga buah kolam dan tujuh batang parit yang saling berhubungan. Areal Karanganyar terdapat Kedukan Bukit, Ladangsirap, Kambang Unglen, dan Kambang Purun. Situs Kambang Unglen merupakan situs penting karena situs ini ditemukan indikator industri manik-manik kaca yang ditemukan bersama pecahan keramik T’ang (abad ke-8 dan 10 Masehi) dan pecahan-pecahan prasasti abad ke-7 Masehi.
Jadi berdasarkan penelitian Balai Arkeologi Palembang tersebut, yang dilandasi bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di kawasan Palembang, diduga seluruh Palembang sisi utara sungai Musi merupakan titik awal kota Sriwijaya abad ke-7 sampai ke-13 Masehi.
Para ahli boleh berselisih pendapat. Tetapi para peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) yang telah melakukan penelitian di sekitar Palembang sejak 1983, mengungkapkan fakta-fakta peninggalan berupa prasasti yang didukung oleh bukti-bukti artefak peninggalan kerajaan Sriwijaya lainnya, seperti arca, candi, keramik, dan serpihan kapal, umumnya banyak ditemukan di daerah Sumatra Selatan, khususnya Palembang.
Dalam pembuktian bahwa Palembang sebagai pusat kerajaan Sriwijaya secara ilmiah dikemukakan lewat temuan-temuan keramik yang tersebar di berbagai tempat di Palembang. Keramik-keramik yang ditemukan baik di Palembang barat (antara Bukit Siguntang dan Karanganyar) maupun di Palembang Timur (Gede Ing Suro dan sekitarnya), kebanyakan berasal dari abad ke-6 Masehi hingga ke-13 Masehi, pada rentang masa kejayaan Sriwijaya. Ada anggapan bahwa keramik-keramik itu juga berasal dari daerah lain. Tetapi, dengan ditemukannya keramik besar-besaran di berbagai tempat di sekitar Palembang semakin membuktikan bahwa benda-benda itu memang adanya di Palembang.
Dari bukti keramik tersebut, menunjukkan Palembang merupakan pusat kerajaan Sriwijaya. Untuk memperkuat asumsi bahwa Sriwijaya memang di Palembang, tahun 1985, peneliti Sriwijaya Manguin membuat foto-foto udara. Dari foto-foto udara itu, terlihat jelas bahwa di daerah Bukit Siguntang, Karang Anyar, Palembang ditemukan bangunan air yang menyerupai kanal sepanjang 3.300 meter. Bangunan itu, tampak berbentuk persegi panjang, bujur sangkar, dan garis-garis yang membujur dari utara ke selatan. Setelah diteliti, bentuk persegi panjang dan bujur sangkar yang tampak itu memperlihatkan bahwa di daerah tersebut pernah berdiri sebuah kerajaan besar, karena telah memiliki tatakota yang baik dan terencana.
Berdasarkan telaah lokasi pusat kerajaan Sriwijaya yang keberadaannya dimulai abad ke-7 Masehi, banyak ahli sejarah yang sepakat bahwa Palembang merupakan pusat ibukota Sriwijaya, dengan alasan, pertama, prasasti Sriwijaya paling banyak ditemukan di daerah Palembang. Kedua, prasasti tertua Sriwijaya (Prasasti Kedukan Bukit) ditemukan di Palembang. Ketiga, posisi Palembang berada di sebelah Selatan negeri Melayu (Jambi), sesuai catatan perjalanan pendeta I-tsing. Dan keempat, berdasarkan hasil pemotretan udara (penelitian geomorfologi), keberadaan pantai timur Sumatra pada sekitar abad ke-10 Masehi, ternyata saat itu, Palembang dan Jambi masih terletak di tepi pantai. Fakta ini kian memperkuat pendapat bahwasanya Sriwijaya adalah kerajaan maritim.
Merujuk pada potensi alam dan temuan sisa-sisa hunian kuno serta kesinambungannya dengan keberadaan rumah panggung dan rumah rakit di Sumatra Selatan hingga sekarang, dapat diprediksi istana kerajaan Sriwijaya juga kemungkinan besar terbuat dari konstruksi kayu.